02 Januari 2010

Penjaga Pintu Kereta, Berbakti di Usia Renta

Seorang perempuan tua tampak serius menonton sinetron. Wajahnya
terlihat emosional ketika pemeran antagonis beraksi. Ia terlihat
semakin kesal ketika televisi di hadapannya terkadang error.
TV 14 inci ini memang menjadi teman Acah (66 tahun) dalam
kesehariannya. Terutama ketika suaminya, Ondin (73) bekerja atau
mengajak cicitnya bermain.
"Hanya inilah barang berharga yang kami miliki," ujar Ondin
menunjukkan tangannya kepada tipi 14 inci miliknya. Karena
keterbatasan penghasilan pula, ia mendapatkan bantuan langsung tunai
(BLT) dari pemerintah. Ia berterima kasih karena pemerintah berbaik
hati memberikan BLT, walaupun jumlahnya sangatlah kurang.
Di usianya yang renta, Ondin tak menginginkan banyak hal. Ia hanya
berharap suatu hari nanti bisa memiliki satu warung kecil di pinggir
rumahnya. "Saya ingin berdagang kecil-kecilan bersama istri," cetus
kakek dari 10 orang cucu dan empat buyut ini.
Ondin mengaku, tubuhnya gampang lemas ketika menjaga pintu perlintasan
kereta api. Apalagi jika kebagian menjaga siang pada musim kemarau.
Bandung yang kini semakin panas, membuat matahari seolah berada di
ubun-ubun. Sedangkan ketika piket malam, ia merasakan dingin yang
menusuk. Meskipun pekerjaannya terbilang ringan, namun faktor cuaca
membuat lelaki seusianya menjadi masalah besar.
Pernah suatu hari di tahun 2008, Ondin jatuh sakit karena kelelahan
bekerja. Sedangkan penghasilannya sebagai penjaga pintu perlintasan KA
sangatlah minim. Sebulan, ia paling hanya mendapatkan Rp210 ribu,
sedangkan ia harus menafkahi istri dan dua cucu serta cicitnya. "Buat
makan saja kurang, apalagi buat ke dokter," keluhnya.
Akhirnya, lelaki lulusan sekolah rakyat di Pangalengan ini memanggil
semua anaknya. Ia maupun Acah menyerahkan kondisi Ondin kepada
anak-anaknya, apakah Ondin akan dibawa ke rumah sakit atau dirawat di
rumah. Setelah berembug, anak-anaknya membawa Ondin ke rumah sakit
untuk diperiksa secara menyeluruh.
"Sekarang saya hidup dari kasih sayang anak, karena penghasilan saya
tidak sebesar ketika saya masih muda," ungkapnya.
Ketika pertama kali pindah ke Bandung tahun 1950-an, ia bekerja di
sebuah pabrik di Braga. Penghasilannya lumayan besar, namun sayangnya
si pemilik pindah ke Jakarta sehingga ia pun harus mencari pekerjaan
baru.
Tak lama kemudian, Ondin mendapat pekerjaan sebagai satpam di Jalan RE
Martadinata. Penghasilannya per bulan mencapai Rp500ribu. Jumlah itu,
cukup besar pada zamannya. Namun jika dibandingkan dengan beban
kerjanya, jumlah itu masih kurang. Karena ia harus bekerja 24 jam,
tanpa libur.
"Waktu masih muda saya ingin sekali pergi haji, tapi penghasilan saya
hanya pas untuk makan," kenangnya.
Bahkan kini penghasilannya tidak mampu menutupi kebutuhan hidupnya dan
istrinya. Anak beserta cucunya sering menutupi kebutuhannya
sehari-hari. Namun untuk menyiapkan modal membuka warung, ia enggan
meminta kepada anak dan cucunya. Karena mereka pun pasti memiliki
banyak kebutuhan.

sumber: okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan untuk meninggalkan jejak disini.. Terimakasih